Kamis, 28 April 2011 | By: Ahmad's

Pengertian Tasawuf


A.    Pengertian Tasawuf
Secara bahasa tasawuf diartikan sebagai Sufisme (bahasa arab: تصوف ) adalah ilmu untuk mengetahui bagaimana cara menyucikan jiwa, menjernihan akhlaq, membangun dhahir dan batin, untuk memporoleh kebahagian yang abadi.
Ada beberapa sumber perihal etimologi dari kata “Sufi”. Pandangan yang umum adalah kata itu berasal dari Suf (صوف), bahasa Arab untuk wol, merujuk kepada jubah sederhana yang dikenakan oleh para asetik Muslim. Namun tidak semua Sufi mengenakan jubah atau pakaian dari wol. Teori etimologis yang lain menyatakan bahwa akar kata dari Sufi adalah Safa (صفا), yang berarti kemurnian. Hal ini menaruh penekanan pada Sufisme pada kemurnian hati dan jiwa. Teori lain mengatakan bahwa tasawuf berasal dari kata Yunani theosofie artinya ilmu ketuhanan.
Yang lain menyarankan bahwa etimologi dari Sufi berasal dari “Ashab al-Suffa” (“Sahabat Beranda”) atau “Ahl al-Suffa” (“Orang orang beranda”), yang mana adalah sekelompok muslim pada waktu Nabi Muhammad yang menghabiskan waktu mereka di beranda masjid Nabi, mendedikasikan waktunya untuk berdoa

B.     Dasar-Dasar Qur`ani Tasawuf
Para pengkaji tentang tasawuf sepakat bahwasanya tasawuf berazaskan kezuhudan sebagaimana yang diperaktekkan oleh Nabi Saw, dan sebahagian besar dari kalangan sahabat dan tabi’in. Kezuhudan ini merupakan implementasi dari nash-nash al-Qur’an dan Hadis-hadis Nabi Saw yang berorientasi akhirat dan berusaha untuk menjuhkan diri dari kesenangan duniawi yang berlebihan yang bertujuan untuk mensucikan diri, bertawakkal kepada Allah Swt, takut terhadap ancaman-Nya, mengharap rahmat dan ampunan dari-Nya dan lain-lain.
Meskipun terjadi perbedaan makna dari kata sufi akan tetapi jalan yang ditempuh kaum sufi berlandasakan Islam. Diantara ayat-ayat Allah yang dijadikan landasan akan urgensi kezuhudan dalam kehidupan dunia adalah firman Allah dalam al-Qur’an
yang Artinya :“Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan kami tambah keuntungan itu baginya dan barang siapa yang menghendaki keuntungan di dunia kamiberikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagianpun di akhirat”. (Q.S Asy-Syuura [42] : 20).
Diantara nash-nash al-Qur’an yang mememerintahkan orang-orang beriman agar senantiasa berbekal untuk akhirat adalah firman Allah dalam Q.S al-Hadid [57] ayat: 20
yang Artinya : “Ketahuilah, bahwa Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; Kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning Kemudian menjadi hancur. dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. dan kehidupan dunia Ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu”.
Ayat ini menandaskan bahwa kebanyakan manusia melaksanakan amalan-amalan yang menjauhkannya dari amalan-amalan yang bermanfaat untuk diri dan keluarganya, sehingga mereka dapat kita temukan menjajakan diri dalam kubangan hitamnya kesenangan dan gelapnya hawa nafus mulai dari kesenangan dalam berpakaian yang indah, tempat tinggal yang megah dan segala hal yang dapat menyenangkan hawa nafsu, berbangga-bangga dengan nasab dan banyaknya harta serta keturunan (anak dan cucu). Akan tetapi semua hal tesebut bersifat sementar dan dapat menjadi penyebab utama terseretnya seseorang kedalam azab yang sangat pedih pada hari ditegakkannya keadilan di sisi Allah, karena semua hal tersebut hanyalah kesenangan yang melalaikan, sementara rahmat Allah hanya terarah kepada mereka yang menjauhkan diri dari hal-hal yang melallaikan tersebut.
Ayat al-Qur’an lainnya yang dijadikan sebagai landasan kesufian adalah ayat-ayat yang berkenaan dengan kewajiban seorang mu’min untuk senantiasa bertawakkal dan berserah diri hanya kepada Allah swt semata serta mencukupkan bagi dirinya cukup Allah sebagai tempat menggantungkan segala urusan, ayat-ayat al-Qur’an yang menjelaskan hal tersebut cukup variatif tetapi penulis mmencukupkan pada satu diantara ayat –ayat tersebut yaitu firman Allah dalam Q.S ath-Thalaq [65] ayat : 3
yang Artinya : “Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki) Nya. Sesungguhnya Allah Telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu”.

Diantara ayat-ayat al-Qur’an yang menjadi landasan munculnya kezuhudan dan menjadi jalan kesufian adalah ayat-ayat yang berbicara tentang rasa takut kepadan Allah dan hanya berharap kepada-Nya diantaranya adalah firman Allah dalam Q.S as-Sajadah [ ] ayat : 16 yang Artinya:“Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya dan mereka selalu berdoa kepada Rabbnya dengan penuh rasa takut dan harap

Maksud dari perkataan Allah Swt : “Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya” adalah bahwa mereka tidak tidur di waktu biasanya orang tidur untuk mengerjakan shalat malam”.
Selasa, 19 April 2011 | By: Ahmad's

Definisi Manajemen Dakwah


  1. Pengertian Manajemen Dakwah
Jika aktivitas dakwah dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip manajemen, maka “citra profesional” dalam dakwah akan terwujud dalam kehidupan masyarakat. Dengan demikian dakwah tidak hanya dipakai dalam objek ubudiah saja, akan tetapi diinterpresikan dalam beberapa profesi. Inilah yang dijadikan inti dari pengaturan secara manajerial organisasi dakwah. Aktivitas dakwah dikatakan berjalan secara efektif apabila apa yang menjadi tujuannya benar-benar tercapai, dan dalam pencapaiannya membutuhkan pengorbanan-pengorbanan yang wajar.
Jika dilihat dari segi bahasa pengertian Manajemen Dakwah memiliki dua pengertian. Pertama pengertian Manajemen dan kedua pengertian Dakwah.
Pertama pengertian manajemen, secara etimologis, kata manajemen berasal dari bahasa inggris, management, yang berarti ketatalaksanaan, tata pimpinan dan pengelolaan. Artinya manajemen adalah sebagai suatu proses yang diterapkan oeh individu atau kelompok dalam upaya-upaya koordinasi dalam mencapai suatu tujuan.
Dalam bahasa Arab istilah manajemen diartikan sebagai an-nizam atau at-tanzim, yang merupakan suatu tempat untuk menyimpan segala sesuatu dan penempatan segala sesuatu pada tempatnya.1
Pengertian tersebut dalam sekala aktivitas juga dapat diartikan sebagai aktivitas menertibkan, mengatur dan berpikir yang dilakukan oleh seseorang, sehingga ia mampu mengemukakan, menata, dan merapikan segala sesuatu yang ada di sekitarnya, mengetahui prinsip-prinsipnya serta menjadikan hidup selaras dan serasi dengan yang lainnya.
Sedangkan secara terminologi terdapat banyak definisi yang dikemukakan oleh para ahli, diantaranya adalah :
The process of planing, organizing,leading,and controling the work of organization members and of using all availeabel organizational resources to reach stated organizatonal goals”.2
[Sebuah proses perencanaan, pengorganisasian, pengaturan terhadap para anggota orgaisasi serta penggunaan seluruh sumber-sumber yang ada secara tepat untuk meraih tujuan organisasi yang telah di tetapkan]
Pengertian manajemen menurut para ahli:
  1. Menurut James A.F. Stoner: Manajemen adalah suatu proses perencanaan, pengorganisasian, kepemimpinan, dan pengendalian upaya dari anggota organisasi serta penggunaan sumua sumber daya yang ada pada organisasi untuk mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan sebelumnya.
  2. Dr. Buchari Zainun: “Manajemen adalah penggunaan efektif daripada sumber-sumber tenaga manusia serta bahan-bahan material lainnya dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditentukan itu.”
  3. Prof. Oey Liang Lee: “Manajemen adalah seni dan ilmu perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pengkoordinasian, dan mengontrolan dari human and natural resources.”3
  4. Menurut James A.F. Stoner: Manajemen adalah proses perencanaan, pengorganisasian dan penggunakan sumberdaya organisasi lainnya agar mencapai tujuan organisasi tang telah ditetapkan.

Pengertian yang kedua yaitu pengertian dakwah, secara etimologis, dakwah berasal dari bahasa Arab, yaitu da'a, yad'u' da'wan, du'a,4 yang diartikan sebagai upaya mengajak, menyeru, memanggil, seruan, permohonan, dan permintaan. Istilah ini sering diberi arti yang sama dengan istilah tabligh, amr ma'ruf nahyi munkar, mau'idzah hasanah, tabsyir, indzhar, washiyah, tarbiyah, ta'lim, dan khatbah.
Dari definisi tersebut maka dapat disimpulkan makna dakwah islam yaitu sebagai kegiatan mengajak, mendorong dan memotivasi orang lain berdasarkan bashirah untuk meniti jalan Allah dan Istiqomah dijaln-Nya serta berjuang bersama meninggikan agama Allah.
Dari definisi manajemen dan dakwah tersebut dapat disimpulkan bahwa Pengertian Manajemen dakwah yaitu sebagai pproses perencanaan tugas, mengelompokan tugas, menghimpun dan menempatkan tenaga-tenaga pelaksana dalam kelompok-kelompok tugas dan kemudian menggerakan ke arah tujuan dakwah.5[A.Rosyad Shaleh]
Inilah yangmerupakan inti dari manajemen dakwah, yaitu sebuah pengaturan secara sistematik dan koordinatif dalam kegiatan atau aktifitas dakwah yang dimulai dari sebelum pelaksanaan sampai akhir dari kegiatan dakwah.

2. Tujuan Manajemen Dakwah
Tujuan adalah sesuatu yang hendak dicapai dan merupakan sebuah pedoman badi manajemen puncak organisasi untuk meraih hasil tertentu atas kegiatan yang dilakukan dalam dimensi waktu tertentu. Tujuan diasumsikan berbeda dengan sasaran. Dalam tujuan memiliki target-terget tertentu untuk dicapai dalam waktu tertentu. Sedangkan sasaran adalah yang telah ditetapkan oleh manajmen puncak untuk menentukan arah organisasi dalam jangka panjang.
Menurut Asmuni Syukir dalam bukunya mengemukakan tujuan dakwah bahwa pada khususnya tujuan dakwah itu ialah:
  1. Mengajak umat manusia yang sudah memeluk islam untuk selalu meningkatkan taqwanya kepada Allah swt.
  2. Membina mental agama islam bagi kaum yang masih mualaf.
  3. Mengajak umat manusia yang belum beriman agar beriman kepada Allah (memeluk agama islam).
  4. Mendidik dan mengajar anak-anak agar tidak menyimpang dari fithrahnya.6

Sementara itu M. Natsir, dalam serial dakwah Media Dakwah mengemukakan, bahwa tujuan dari dakwah itu adalah:
  1. Memanggil kita pada syarita, untuk memecahkan persoalan hidup, baik persoalan hidup perseorangan atau persolanan rumah tangga, berjamaah masyarakat, berbangsa-bersuku bangsa, bernegara dan berantar-nergara.
  2. Memanggil kita pada fungsi hidup sebagai hamba Allah di atas dunia yang terbentang luas yang berisikan manusia secara heterogen, bermacam karakter, pendirian dan kepercayaan, yakni fungsi sebagai syuhada’ala an-naas, menjadi pelopor dan pengawas manusia.
  3. Memanggil kita kepada tujuan hidup yang hakiki, yakni menyembah Allah.

Tujuan dakwah secara umum adalah mengubah perilaku sasaran agar mau menerima ajaran Islam dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari, baik yang bersangkutan dengan masalah pribadi, keluarga maupun sosial kemasyarakatnya, agar mendapatkan keberkahan dari Allah Swt. Sedangkan tujuan dakwah secara khusus dakwah merupakan perumusan tujuan umum sebagai perincian daripada tujuan dakwah.7

  1. Fungsi-fungsi Manajemen
Manajemen oleh para penulis dinagi atas beberapa fungsi. Pembagian fungsi-fungsi manajemen ini tujaunya adalah :8
a. supaya sistematika urutan pembahasannya lebih teratur;
b. agar analisis pembahasannya lebih mudah dan lebih mendalam;
c. untuk menjadi pedoman pelaksanaan proses manajemen dari manajer.
Fungsi-fungsi manajemen yang dikemukakan para ahli tidak sama. Hal ini disebabkan latar belakang penulis, jadi pendekatan yang dilakukan tiadak sama. Adapun Fungsi manajemen adalah elemen-elemen dasar yang akan selalu ada dan melekat di dalam proses manajemen yang akan dijadikan acuan oleh manajer dalam melaksanakan kegiatan untuk mencapai tujuan. Pada umumnya ada empat (4) fungsi manajemen yang banyak dikenal masyarakat yaitu fungsi perencanaan (planning), fungsi pengorganisasian (organizing), fungsi pengarahan (directing) dan fungsi pengendalian (controlling). Untuk fungsi pengorganisasian terdapat pula fungsi staffing (pembentukan staf). Para manajer dalam organisasi perusahaan bisnis diharapkan mampu menguasai semua fungsi manajemen yang ada untuk mendapatkan hasil manajemen yang maksimal.
adapun fungsi-fungsi manajemen adalah;
  1. Planning
Fungsi perencanaan adalah suatu kegiatan membuat tujuan perusahaan dan diikuti dengan membuat berbagai rencana untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan tersebut.
  1. Organizing
Fungsi perngorganisasian adalah suatu kegiatan pengaturan pada sumber daya manusia dan sumberdaya fisik lain yang dimiliki perusahaan untuk menjalankan rencana yang telah ditetapkan serta menggapai tujuan perusahaan.
  1. Directing
Fungsi pengarahan adalah suatu fungsi kepemimpinan manajer untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi kerja secara maksimal serta menciptakan lingkungan kerja yang sehat, dinamis, dan lain sebagainya.
  1. Controling
Fungsi pengendalian adalah suatu aktivitas menilai kinerja berdasarkan standar yang telah dibuat untuk kemudian dibuat perubahan atau perbaikan jika diperlukan.

  1. Fungsi-fungsi Manajemen Dakwah
Dalam kaitan ini Fungsi manajemen dakwah berlangsung pada tataran dakwah itu sendiri. Dimana setiap aktivitas dakwah khususnya dalam skala organisasi atau lembaga untuk mencapai suatu tujuan dibutuhkan sebuah pengaturan atau manajemerial yang baik, ruang lingkup kegiatan dakwah merupakan sarana atau alat pembantu pada aktivitas dakwah itu sendiri.
Adapun unsur-unsur manajerial atau 'amaliyyah al'idariyyah tersebut merupakan sebuah kesatuan yang utuh yang terdiri dari :9
  1. Takhthith (Perencanaan Dakwah)
secara alami merupakan bagian dari sunatullah, yaitu dengan melihat bagaimana Allah SWT. menciptakan alam semesta dengan hak dan perencanaan yang matang serta disertai tujuan dakwah
Dalam aktivitas dakwah, perencanaan dakwah bertugas menentukan langkah dan program dalam menentukan setiap sasaran, menentukan sarana-prasarana atau media dakwah, serta personel da'i yang akan diterjunkan. Menentukan materi yang cocok untuk sempurnanya pelaksanaan, membuat asumsi berbagai kemungkinan yang dapat terjadi yang kadang-kadang dapat memengaruhi cara pelaksanaan program dan cara menghadapinya serta menentukan alternatif-alternatif, yang semua itu merupakan tgas utama dari sebuah perencanaan.10


  1. Tanzhim (Pengorganisasian Dakwah)
Menjelaskan bagaimana pengelolaan rencana itu, yakni dilakukannya pembagian aplikatif dakwah dengan lebih terperinciPengorganisasian adalah seluruh proses pengelompokkan orang-ornag, alat-alat, tugas-tugas, tanggung jawab, dan wewenang sedemikian rupa sehingga tercipta suatu organisasi yang dapat digerakkan sebagai suatu kesatuan dalam rangka mencapai suatu tujuan yang telah ditentukan.

Sementara itu, Rosyid Saleh mengemukakan bahwa rumusan pengorganisasian dakwah itu adalah “rangkaian aktivita menyusun suatu kerangka yang menjadi wadah bagi setiap kegiatan usaha dakwah dengan jalan membagi dan mengelompokkan pekerjaan yang harus dilaksanakan serta menetapkan dan menyusun jalinan hubungan kerja diantara satuan-satuan organisasi atau petugasnya.

  1. Tawjih (Penggerakan Dakwah)
Merupakan inti dari dakwah itu sendiri yaitu seluruh proses pemberian motivasi kerja kepada para bawahan sedemikian rupa, sehingga mereka mampu bekerja dengan ikhlas demi tercapainya tujuan organisasi dengan efisien dan ekonomis.
Motivasi diartikan sebagai kemampuan seorang manajer atau pemimpin dakwah dalam memberikan sebuah kegairahan, kegiatan dan pengertian, sehingga para anggotanya mampu untuk mendukung dan bekerja secara ikhlas untuk mencapai tujuan organisasi sesuai tugas yang dibebankan kepadanya.

  1. Riqaabah (Pengendalian Dakwah)
Evaluasi dakwah dirancang untuk diberikan kepada orang yang dinilai dan orang yang menilai informasi mengenai hasil karya. Pengendalian manajemen dakwah dapat dikatakan sebagai sebuah pengetahuan teoritis praktis. Karena itu, para da;i akan lebih cepat untuk mencernanya jika dikaitkan dengan prilaku dari da'i itu sendiri sesuai dengan organisasi. Dengan demikian, pengendalian manajemen dakwah dapat dikategorikan sebagai bagian dari prilaku terapan, yang berorientasi kepada sebuah tuntutan bagi para da'i tentang cara menjalankan dan mengendalikan organisasi dakwah yang dianggap baik. Tetapi yang paling utama adalah komitmen manajemen dengan satu tim dalam menjalankan sebuah organisasi dakwah secara efisien dan efektif, sehingga dapat menghayati penerapan sebuah pengendalian.
Tujuan diberlakukannya evaluasi ini yaitu agar mencapi konklusi dakwah yang evaluatif dan memberi pertimbangan mengenai hasil karya serta mengembangkan karya dalam sebuah program. Sedangkan evaluasi dakwah dinilai penting karena dapat menjamin keselamatan pelaksanaan dan perjalanan dakwah, mengetahu berbagau persoalan dan problematika yang dihadapi serta cara antisifasi dan penuntasan seketika sehingga akan melahirkan kemantafan bagi para aktifis dakwah.

  1. Ruang Lingkup Manajemen Dakwah
Ruang lingkup kegiatan dakwah dalam tataran manajemen merupakan sarana atau alat pembantu pada aktivitas dakwah itu sendiri. Karena dalam sebuah aktivitas dakwah itu akan timbul masalah atau problem yang sangat kompleks, yang dalam menangani serta mengantisipasinya diperlukan sebuah strategi yang sistematis. Dalam konteks ini, maka ilmu manajemen sangat berpengaruh dalam pengelolaan sebuah lembaga atau organisasi dakwah sampai pada tujuan yang diinginkan.
Sedangkan ruang lingkup dakwah akan berputar pada kegiatan dakwah, di mana dalam aktivitas tersebut diperlukan seperangkat pendukung dalam mencapai kesuksesan. Adapun hal-hal yang mempengaruhi aktivitas dakwah antara lain meliputi:
  • Keberadaan seorang da’I, baik yang terjun secara langsung maupun tidak langsung, dalam pengertian eksistensi da’I yang bergerak di bidang dakwah itu sendiri.
  • Materi merupakan isi yang akan disampaikan kepada mad’u, pada tataran ini materi harus bisa memenuhi atau yang dibutuhkan oleh mad’u, sehingga akan mancapai sasaran dakwah itu sendiri, dan
  • Mad’u kegiatan dakwah harus jelas sasarannya, dalam artian ada objek yang akan didakwahi.11








Drs. H. Malayu S.P. Hasibuan, 2009, Manajemen Dasar Pengertian dan Masalah, Bumi Aksara, Bandung.
Drs. RB. Khatib Pahlawan kayo, 2007, Manajemen Dakwah dari Dakwah Konvensional menuju Dakwah professional, Amzah, Jakarta.
Dr. H.M. Anton Athoillah, M.M., 2010, Dasar-dasar Manajemen, CV Pustaka Setia, Bandung.
Drs. Enjang AS, M.Ag., M.Si. dan Aliyudin, S.Ag., M.Ag., 2009, Dasar-dasar Ilmu Dakwah, Widya Padjadjaran, Bandung.
Drs. ABD. Rosyad Shaleh, 1977, Manajemen Dakwah Islam, Bulan Bintang, Jakarta.
Prof. Dr. Moh. Ali Aziz, M.Ag., 2009, Ilmu Dakwah, Kencana, Bandung
Munir, S.Ag, M.A. dan Wahyu Illaihi, S.Ag, M.A., 2009, Manajemen Dakwah, Kencana, Jakarta.
Dr. H. Endin Nasrudin, M.Si., 2010, Psikologi Manajemen, CV Pustaka Setia, Bandung.
Habib, Syafaat, 1982, Buku Pedoman Dakwah, Penerbit Widjaya, Jakarta.
Mubarok Achmad, DR. MA., 1999, Psikologi Dakwah, Pustaka Firdaus, Jakarta.
Munzier Suparta dan Harjani, 2003, Metode Dakwah, Rahmat Semesta, Jakarta.
Ali Azis, Moh, 2004, Ilmu Dakwah, Timur Kencana, Jakarta.
Fauzi, Nurullah, 1999, Dakwah-dakwah yang paling mudah, Putra pelajar, Jawa Timur.
Jahja Omar, Toha, 1992, Ilmu Dakwah, Widjaya, Jakarta.


1Al-Mu'ajm al-Wajiiz, Majma'ul-Lughoh al-Arrabiyyah, huruf Nuun.
2James A.F. Stoner,R.Edward Freeman, Daniel R Gillbert,JR,Managemen Sixt Edition,[New Jersey:Prentice Hall,1995],hlm 7.
3Drs. RB. Khatib Pahlawan kayo, Manajemen Dakwah dari Dakwah Konvensional menuju Dakwah professional, [Jakarta: Amzah, Cet. 1, 2007], hlm. 17

4Majma' al-Lughah al-Arabiyah, 1972:286.
5Zaini Muhtarom, Dasar-dasar Manajemen Dakwah, [Yogyakarta: PT al-Amin Press, 1996],hlm.37
Asmuni Syukir, Dasar-dasar Strategi Dakwah Islam, [Surabaya: Al-Ikhlas, 1983], hlm. 49




7M. Munir, S. Ag, M.A., Manajemen Dakwah, [Jakarta: Rahmat Semesta, 2009],hlm. 87-90

8Drs.H.Malayu S.P.Hasibuan., Manajemen, Dasar,Pengertian, dan Masalah,[Jakarta:Bumi Aksara,2007.]hlm.37
9Wahyu Ilalahi,S.Ag,Ma,. Manajemen Dakwah[Jakarta:Kencana,Rahmat Semesta]. Hlm xiv, dalam sebuah pengantar.
Ishak Asep, Hendri Tanjung, Manajemen Sumber Daya Manusia, [Jakarta: Trisakti, 2002], hlm. 19




M. M. Munir, S. Ag, M.A., Manajemen Dakwah, [Jakarta: Rahmat Semesta, 2009],hlm.,79-80





Fungsi Masjid Sebagai Sarana Pendidikan


BAB I
PENDAHULUAN
       Mesjid adalah rumah tempat ibadah umat Muslim. Masjid artinya tempat sujud, dan mesjid yang berukuran kecil disebut musholla, langgar atau surau. Selain tempat ibadah masjid juga merupakan pusat kehidupan komunitas muslim. Kegiatan-kegiatan perayaan hari besar, diskusi, kajian agama, ceramah dan belajar Al Qur'an sering dilaksanakan di Masjid. Bahkan dalam sejarah Islam, masjid turut memegang peranan dalam aktivitas sosial kemasyarakatan hingga kemiliteran.
Selain itu mesjid juga merupakan sarana pendidikan Islam karena bagaimanpun Penyelenggaraan pendidikan agama Islam dan perkembangannya tidak terlepas dari jasa besar masjid. Hidup sebagai muslim tidak dapat dipisahkan dari keberadaan masjid, karena beberapa ibadah wajib diantaranya harus dilaksanakan di masjid. Ibadah tersebut juga berarti praktek pendidikan agama Islam yang sudah kita dapat sejak kecil, seperti sholat berjamaah dan sholat jum’at.
Salah satu fungsi masjid dalam islam adalah sebagai tempat pendidikan dan pengajaran. Beberapa masjid, terutama masjid yang didanai oleh pemerintah, biasanya menyediakan tempat belajar atau sekolah, yang mengajarkan baik ilmu keislaman maupun ilmu umum. Sekolah ini memiliki tingkatan dari dasar sampai menengah, walaupun ada beberapa sekolah yang menyediakan tingkat tinggi. Beberapa masjid biasanya menyediakan pendidikan paruh waktu, biasanya setelah subuh, maupun pada sore hari. Pendidikan di masjid ditujukan untuk segala usia, dan mencakup seluruh pelajaran, mulai dari keislaman sampai sains. Selain itu, tujuan adanya pendidikan di masjid adalah untuk mendekatkan generasi muda kepada masjid. Pelajaran membaca Qur'an dan bahasa Arab sering sekali dijadikan pelajaran di beberapa negara berpenduduk Muslim di daerah luar Arab, termasuk Indonesia.
Salah satu contoh masjid yang digunakan sebagai sarana pendidikan adalah pada masa khalifah Abbasiyah, dimana masjid digunakan sebagai tempat pertemuan ilmiah bagi para sarjana dan ulama. Selain itu Masjidilharam misalnya, masjid ini selain digunakan sebagai tempat ibadah juga digunakan untuk mendalami ilmu-ilmu agama berbagai madzhab.
Adapun fungsi masjid yang ada di pedesaan cuman sebatas sarana untuk beribadah seperti, shalat, mengaji saja, dan belum banyak yang menjadikan mesjid di pedesaan/pedalaman sebagai tempat pendidikan yang sudah berkembanga saat ini.
BAB II
PEMBAHASAN
Mesjid adalah rumah tempat ibadah umat Muslim. Masjid artinya tempat sujud, dan mesjid yang berukuran kecil disebut musholla, langgar atau surau. Selain tempat ibadah masjid juga merupakan pusat kehidupan komunitas muslim. Kegiatan-kegiatan perayaan hari besar, diskusi, kajian agama, ceramah dan belajar Al Qur'an sering dilaksanakan di Masjid. Bahkan dalam sejarah Islam, masjid turut memegang peranan dalam aktivitas sosial kemasyarakatan hingga kemiliteran.

a. Masjid dalam tinjauan Etimologi
Masjid berarti tempat bersujud. Akar kata dari masjid adalah sajada dimana sajada berarti sujud atau tunduk. Kata masjid sendiri berakar dari bahasa Aram(bahasa semitik). Kata masgid (m-s-g-d) ditemukan dalam sebuah inskripsi dari abad ke 5 Sebelum Masehi. Kata masgid (m-s-g-d) ini berarti "tiang suci" atau "tempat sembahan". Kata masjid dalam bahasa Inggris disebut mosque. Kata mosque ini berasal dari kata mezquita dalam bahasa Spanyol. Dan kata mosque kemudian menjadi populer dan dipakai dalam bahasa Inggris secara luas.

b. Masjid Pertama
Ketika Nabi Muhammad saw tiba di Madinah (622 M. bertepatan pada bulan rabi’ul awal tahun pertama hijriayah), beliau memutuskan untuk membangun sebuah masjid, yang sekarang dikenal dengan nama Masjid Nabawi –atau lebih dikenal masjid Madinah-, yang berarti Masjid Nabi. Masjid Nabawi terletak di pusat Madinah. Masjid Nabawi dibangun di sebuah lapangan yang luas. Di Masjid Nabawi, juga terdapat mimbar yang sering dipakai oleh Nabi Muhammad saw. Masjid Nabawi menjadi jantung kota Madinah saat itu. Masjid ini digunakan untuk kegiatan politik,diskusi, perencanaan kota, menentukan strategi militer, dan untuk mengadakan perjanjian. Bahkan, di area sekitar masjid digunakan sebagai tempat tinggal sementara oleh orang-orang fakir miskin. Saat ini, Masjidil Haram, Masjid Nabawi dan Masjid al-Aqsa adalah tiga masjid tersuci di dunia.
C. Masjid sebagai sarana pendidikan
Salah satu fungsi masjid dalam islam adalah sebagai tempat pendidikan dan pengajaran. Beberapa masjid, terutama masjid yang didanai oleh pemerintah, biasanya menyediakan tempat belajar atau sekolah, yang mengajarkan baik ilmu keislaman maupun ilmu umum. Sekolah ini memiliki tingkatan dari dasar sampai menengah, walaupun ada beberapa sekolah yang menyediakan tingkat tinggi. Beberapa masjid biasanya menyediakan pendidikan paruh waktu, biasanya setelah subuh, maupun pada sore hari. Pendidikan di masjid ditujukan untuk segala usia, dan mencakup seluruh pelajaran, mulai dari keislaman sampai sains. Selain itu, tujuan adanya pendidikan di masjid adalah untuk mendekatkan generasi muda kepada masjid. Pelajaran membaca Qur'an dan bahasa Arab sering sekali dijadikan pelajaran di beberapa negara berpenduduk Muslim di daerah luar Arab, termasuk Indonesia. Kelas-kelas untuk mualaf, atau orang yang baru masuk Islam juga disediakan di masjid-masjid di Eropa dan Amerika Serikat, dimana perkembangan agama Islam melaju dengan sangat pesat. Beberapa masjid juga menyediakan pengajaran tentang hukum Islam secara mendalam. Madrasah, walaupun letaknya agak berpisah dari masjid, tapi tersedia bagi umat Islam untuk mempelajari ilmu keislaman. selain dalam bentuk sekolah masjid juga berguna untuk pengajaran majelis ta’lim.
Salah satu contoh masjid yang digunakan sebagai sarana pendidikan adalah pada masa khalifah Abbasiyah, dimana masjid digunakan sebagai tempat pertemuan ilmiah bagi para sarjana dan ulama. Selain itu Masjidilharam misalnya, masjid ini selain digunakan sebagai tempat ibadah juga digunakan untuk mendalami ilmu-ilmu agama berbagai madzhab.
Adapun di Indonesia, terutama di daerah pedesaan, masjid berfungsi sebagai tempat untuk melaksanakan ibadah shalat, mengajar al-Qur’an bagi anak-anak, dan memperingati hari-hari besar islam. Di daerah perkotaan, selain fungsi tersebut, masjid juga digunakan untuk pembinaan generasi muda islam, ceramah, diskusi keagamaan dan perpustakaan.
Penyelenggaraan pendidikan agama Islam dan perkembangannya tidak terlepas dari jasa besar masjid. Hidup sebagai muslim tidak dapat dipisahkan dari keberadaan masjid, karena beberapa ibadah wajib diantaranya harus dilaksanakan di masjid. Ibadah tersebut juga berarti praktek pendidikan agama Islam yang sudah kita dapat sejak kecil, seperti sholat berjamaah dan sholat jum’at.
Masjid disamping sebagai tempat ibadah juga sebagai pusat kegiatan umat Islam. Masjid juga digunakan oleh Rasulullah SAW sebagai kegiatan sosial dan politik menyusun strategi perang.
Rasulullah SAW tidak hanya mengajarkan masjid sebagai tempat ibadah mahdhah saja, tetapi kegiatan lainnya yang berurusan dengan kepentingan umat.
Orang boleh saja meragukan masjid sebagai pusat aktivitas agama Islam di era global ini. Pendidikan tentang agama Islam dan aktivitas agama Islam diperoleh dan dapat dilakukan di banyak tempat, tidak hanya di masjid saja. Prinsipnya, jika dilihat dari beberapa ketentuan agama mengenai masjid, umat Islam tidak dapat dipisahkan dengan masjid. Sejarah membuktikan kalau masjid sebagai awal pusat pendidikan agama Islam.
Masjid juga sudah ditakdirkan menjadi rumah Allah SWT dan milik umat Islam dimanapun berada. Keberadaan masjid bukan hanya menjadi kebutuhan sebagai sarana ibadah, tetapi keberadaan masjid juga wajib adanya pada suatu wilayah yang ada umat muslimnya.
Mayoritas penduduk kabupaten Kebumen adalah muslim. Desa-desa di kabupaten Kebumen ini minimal terdapat satu bangunan masjid pada setiap desanya. Desa yang wilayahnya luas dan berpenduduk banyak/padat, bahkan tidak hanya terdapat satu bangunan masjid. Desa Jemur kecamatan Kebumen adalah contoh desa yang mempunyai dua bangunan masjid. Masih banyak desa lain yang mempunyai masjid lebih dari satu, misalnya di desa Karangsari Kebumen, terdapat enam bangunan masjid.
Keberadaan masjid jauh lebih sedikit dibandingkan keberadaan Musholla. Musholla lebih banyak, disebabkan karena dapat didirikan pada setiap tempat dimanapun minimal sebagai tempat sholat saja. Musholla bisa didirikan disetiap komplek RT, komplek RW, komplek perkantoran, bahkan rumah kita masing-masing. Keberadaan mushalla, tidak untuk menunaikan shalat jum’at. Desa Jatimulyo Alian Kebumen, adalah contoh desa yang mempunyai tujuh bangunan musholla milik masyarakat dan tiga bangunan masjid. Kenyataan yang ada, musholla dalam menyelenggarakan pendidikan agama Islam maupun sebagai tempat ibadah umat Islam tidak berbeda dengan di masjid, secara prinsip kegiatan musholla bermula dari bagaimana konsep memakmurkan masjid.
Keberadaan bangunan masjid dalam Islam terdapat persyaratan tertentu, misalnya batas-batas wilayah dan minimal ada empat puluh orang untuk mendirikan sholat Jum’at. Masjid juga tidak boleh didirikan pada satu komplek dalam satu batas wilayah yang kecil.
Bangunan masjid semakin banyak seiring dengan bertambah banyaknya penduduk di Indonesia dan semakin banyaknya pembangunan komplek perumahan. Semakin banyaknya masjid dan tuntutan mendirikan masjid menunjukkan bahwa masjid sangat berpotensi untuk menjadi pusat pendidikan agama Islam dan pusat peradaban yang menyertai perkembangan kehidupan umat Islam sepanjang masa.
Makmurnya masjid juga berimplikasi pada terpenuhinya jama’ah akan pendidikan agama Islam dan tempat pembinaan umat.
Pendidikan agama Islam di masjid pada umumnya dilaksanakan secara konservatif atau tradisional. Pendidikan agama Islam dengan cara tradisional adalah dengan metode bandungan atau sorogan. Pengajar pendidikan di masjid dengan membaca dan didengarkan atau ditirukan oleh santri masjid, atau sebaliknya. Metode ini juga memungkinkan untuk terjadinya Tanya jawab antara santri masjid dengan seorang ustadz atau kyai masjid.
Pendidikan agama Islam di beberapa masjid di Kebumen ini juga mengalami perkembangan. Masjid yang melakukan pengembangan pendidikan agama Islam contohnya adalah masjid Nurul Iman desa Kawedusan, masjid desa panggel kelurahan panjer Kebumen. Komplek masjid-masjid tersebut juga dibangun sarana pendidikan dan organisasi masjid seperti pengurus TPQ, dan tempat khusus untuk belajar Alquran. Keberadaan pondok pesantren juga berawal dari bentuk pengembangan pendidikan agama Islam di masjid. Masjid Jami’ Wonoyoso Kebumen adalah contoh bentuk pengembangan pendidikan agama di masjid berbentuk pondok pesantren, bahkan meluas kepada pendirian bangunan madrasah sebagai pendidikan formal.
Banyaknya fungsi masjid yang semakin meluas sebagai sarana pendidikan agama Islam secara lebih sistematis, tidak mengurangi kharisma masjid yang ada di desa-desa yang menyelenggarakan pendidikan secara tradisional.
Sejarah perkembangan masjid lebih banyak menyuguhkan kajian agama dari pada kegiatan sosial. Pendidikan agama Islam di masjid juga lebih banyak dari pada aktivitas pendidikan agama Islam pada lembaga pendidikan formal. Masjid pada setiap malam dapat menyelenggarakan pendidikan agama seperti pengajian kitab. Ada yang bersiafat harian, mingguan, sebulanan dan tahunan dan sepanjang waktu. Berbeda dengan penyelenggaran pendidikan dan aktivitas pendidikan agama Islam di madrasah atau sekolah. Institusi madrasah dan sekolah menyuguhakn materi pendidikan agama Islam dengan waktu yang sangat terbatas. Materi pendidikan agama Islam didapat dua sampai enam jam perminggunya dan dalam kurun waktu tiga tahun.
Pendidikan agama Islam yang di selelenggarakan di masjid., tidak terbatas oleh waktu. Konsep pendidikan seumur hidup, setiap saat bisa di dapat di masjid walaupun tidak dalam pengertian semua masjid. Begitu juga keberadaan masjid di desa dengan masjid di kota. Masjid di kota, pada umumnya aktivitas agama Islamnya terbatas, hal ini karena karakter masyarakat kota yang berbeda dengan karakter masyarakat perdesaan.
Sesudah negara Islam meluas, maka berkembanglah peran dan fungsi masjid. Sehingga ia berperan sebagai lembaga-lembaga ilmu pengetahuan dan tempat pengajaran segala macam pengetahuan, baik agama ataupun lainnya. Ketika Nabi Muhammad saw. berhijrah dari Mekkah menuju Yatsrib (Madinah) dan singgah di Quba, program yang pertama kali beliau laksanakan ialah mendirikan sebuah masjid yang kemudian beliau namakan dengan “Masjid Quba”. Masjid itu disebut oleh Allah swt. dalam firman-Nya: “Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar takwa (Masjid Quba) sejak hari pertama adalah lebih patut kamu shalat di dalamnya. Di dalamnya terdapat orang-orang yang ingin mensucikan diri. Dan Allah menyukai orang-orang yang bersih” (Q.S. At-Taubah/9: 108).
Hal ini dimaksudkan oleh Rasulullah agar menjadi tempat berkumpul bagi manusia guna menunaikan shalat, membaca kitab suci Al-Qur'an, berdzikir kepada Allah swt., saling bermusyawarah dalam urusan agama mereka, dan agar menjadi “Madhar”(manifestasi) bagi persatuan, kerukunan dan persaudaraan, dan menjadikan masjid menjadi tempat pendidikan, pengajaran dan tempat menyampaikan nasihat dalam masalah agama, akhlakul karimah. Rasulullah saw. bersabda: “Barang siapa yang masuk ke dalam masjid-ku ini guna mengajar kebaikan atau belajar (mencari ilmu), maka ia bagaikan orang yang berjuang menegakkan agama Allah” (H.R. Ibnu Majah).
Rasulullah saw. sendiri seringkali duduk di masjidnya, lalu dikerumuni oleh para sahabat secara melingkar, bagaikan bintang-bintang mengelilingi bulan purnama. Kemudian beliau menyampaikan ceramah, fatwa agama dan ajaran-ajaran lain kepada mereka. Dan jika beliau berhalangan maka diutusnya sahabatnya untuk mewakilinya seperti: Ubadah bin Shamit, Abi Ubadah bin al-Jarrah atau lainnya. Hingga kemudian di Madinah Rasulullah mendirikan masjid Nabawi yang juga berfungsi sebagai tempat pendidikan pertama kali yang beliau pergunakan untuk mengajarkan Qira'atul Qur'an, ilmu fiqh, syariat Islam dan berbagai ilmu pengetahuan, sehingga dapat menelurkan generasi-generasi militan, yang menjadi ulama, hukama, khulafa, umara dan pemimpin-pemimpin yang dapat diandalkan.
Sesudah negara Islam meluas, maka berkembanglah peran dan fungsi masjid. Sehingga ia berperan sebagai lembaga-lembaga ilmu pengetahuan dan tempat pengajaran segala macam pengetahuan, baik agama ataupun lainnya. Yang tampak menonjol sekali dalam hal ini antara lain ialah: Masjid-masjid Shan'a di Yaman, Al Jami' Al Umawi di Damsyik, Al Jami' Al-Azhar di Mesir, Jami' Az-Zaituniyah di Tunisia dan Masjid Qoeruwar di Fas. Kemudian berikutnya, para penguasa, umara dan para raja berlomba-lomba membangun tempat-tempat pendidikan dan lembaga ilmu pengetahuan yang dilengkapi dengan masjid dan asrama pelajar. Hal inilah yang akhirnya dapat membawa kejayaan ilmu dan kebudayaan Islam, dapat melahirkan beribu-ribu ulama yang intelek dalam berbagai bidang ilmu, seperti tafsir, hadits, ilmu falak, fiqh, usul fiqh, bahasa Arab, sastra Arab, kedokteran, olahraga, ilmu hitung, dan lain-lain.
Saat ini konsep sekolah-sekolah yang berada di sekeliling masjid, atau sekolah-sekolah yang dilengkapi dengan masjid dijadikan sebagai konsep sekolah-sekolah Islam terpadu dari segi arsitektur pembangunan sekolah-sekolah Islam terpadu. Bahkan di sekolah-sekolah negeri pun mulai terlihat adanya pembangunan masjid di tengah-tengah sekolah. Mengapa demikian?
Hikmah mendalam yang sebetulnya dapat kita petik dari langkah pertama yang dilakukan Rasulullah saw. di saat hijrah dengan membangun masjid Quba dan menjadikannya tempat untuk mendidik generasi Islam dan menyampaikan berbagai ilmu yang terkandung di dalam Al-Qur'an dan Hadits. Walaupun secara tidak langsung Rasulullah juga melakukan berbagai pendidikan dan pengajaran di tempat-tempat yang lain seperti, di rumah-rumah, di jalan, di pasar sampai di medan perang. Sesuai dengan ilmu dan ajaran yang akan disampaikannya.
Di dalam dunia pendidikan, khususnya pendidikan Islam, masjid ibarat ruhnya atau qolbunya pendidikan. Karena pendidikan tidak hanya semata-mata mengetahui sesuatu hal yang baru, bukan hanya untuk mencapai jenjang yang lebih tinggi dan tidak juga hanya semata-mata mengejar nilai. Tapi Rasulullah telah mengajarkan kepada kita, nilai-nilai pendidikan yang hakiki untuk menjadikan manusia sebagai manusia seutuhnya (Insan Kamil/ Insan Paripurna)
Karena pendidikan merupakan proses sistematis untuk meningkatkan martabat manusia secara holistik sehingga dimensi kependidikan dapat berkembang secara optimal. Adapun dimensi kependidikan itu mencakup tiga hal, yaitu:
1. Afektif, yang tercermin pada kualitas keimanan, ketakwaan, akhlak mulia termasuk budi pekerti yang luhur serta kepribadian unggul, dan kompetensi estetis. Dari masjid nilai-nilai hakiki ini ditanamkan oleh Rasulullah kepada umatnya dengan perintah menjalankan shalat, pelaksanaan shalat berjamaah dan hikmah-hikmah lain yang terkandung di dalam shalat berjamaah. Dan hal tersebut dimulai dari masjid.
2. Kognitif, yang tercermin pada kapasitas pikir dan daya intelektualitas untuk menggali dan mengembangkan serta menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Yang diwujudkan dengan perintah bertasbih dan membaca Al-Qur'an serta mempelajari kandungan-kandungan ilmu di dalamnya. Dan sejak zaman Rasulullah, para sahabat dan sekarang ini para ulama melakukannya di masjid. Karena inti ilmu pengetahuan itu ada di dalam Al-Qur'an.

3. Psikomotorik, yang tercermin pada kemampuan mengembangkan keterampilan teknis, kecakapan praktis dan kompetensi kinestetis. Diwujudkan dengan berbagai kegiatan fisik di masjid dalam pelaksanaan kedua perintah-perintah di atas, juga pengembangan organisasi masjid, kegiatan fisik, rehabilitasi masjid dan pengembangan pembangunan fisik masjid memerlukan kemampuan keterampilan teknis. Dan masjid dapat menjadi tempat pendidikan ini.

Rasulullah di awal hijrahnya ke Madinah melakukan ketiga hal di atas secara baik dan tepat, sehingga menghasilkan generasi Islam yang berhasil mengembangkan syiar Islam ke seluruh penjuru dunia, sejak dulu hingga sekarang. Karena masjid merupakan ruhnya atau qolbunya pendidikan.
Sekolah-sekolah yang dibangun di seputar masjid dewasa ini menunjukkan bahwa tiga hal yang mendasar di atas dapat berjalan bersamaan. Siswa tidak hanya mengutamakan NEM dan kepandaian dalam olah ilmu pengetahuannya, tapi juga iman dan akhlakul karimah, serta kemampuan fisiknya dalam olah jasmani dalam berbagai kegiatan fisik yang dilakukan di sekolah. Inilah hikmah yang dapat kita ambil dari peristiwa saat awal hijrah Rasulullah saw. di atas. Karena itulah marilah kita makmurkan masjid-masjid sebagai rumah Allah dengan menjalankan shalat berjamaah di masjid, mengikuti pengajian-pengajian dan tadarus Al-Qur'an, serta melakukan kajian-kajian baik masalah akidah, syariah, dan ilmu pengetahuan dan akhlakul karimah. Baik itu masjid di lingkungan rumah kita masing-masing, maupun di lingkungan sekolah-sekolah kita. Apabila saatnya adzan terdengar sebagai panggilan shalat, maka semua kegiatan dihentikan untuk bersama-sama melaksanakan shalat berjamaah. Dengan demikian akan tercapailah tujuan pendidikan yang diharapkan.(AS)

DAFTAR FUSTAKA
Ahmad Asy-Syarbaasyi, Dialog Islam. Surabaya: 1997.
Hasanuddin,Hukum Dakwah, Tinjauan Aspek Hukum dalam Berdakwah di
Indonesia, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996.
Moh E. Ayub, Menejemen Masjid, Jakarta: Gema Insani Press, 1997
Moh E. Ayub, Menejemen Masjid, Jakarta: Gema Insani Press, 1997.
Muhammad Natsir, Keputusan dan Rekomendasi Muktamar Risalah Masjid
se Dunia di Makkah, Jakarta, Perwakilan Rabitah Alam Islami ,
1395H.
Nana Rukmana D.W, Masjid dan Dakwah, Merencanakan, Membangun dan
Mengelola Masjid, Mengemas Substansi Dakwah,Upaca Pemecahan
Krisis Moral dan Spiritual, Jakarta: Almawardi Prima, 2002.
Quraish Shihab,M., Wawasan Al-Qur’an , Tafsir Maudhu’I atas Pelbagai
Persoalan Umat, Bandung: Mizan, 1996.
Sidi Gazalba, Masjid Pusat Ibadat dan Kebudayaan Islam, Jakarta: Pustaka
Antara, 1971.

Kaidah Dakwah


BAB I
PENDAHULUAN
Dakwah adalah upaya merubah dan mentranformasi manusia dari dzulumat (non Islam) kepada nur (Islam) agar mereka menjadi hamba Allah dalam ranah kehidupan individual dan komunalnya (keluarga, masyarakat dan negara). Tentu hal ini merupakan pekerjaan yang cukup berat sehingga wajar jika pahala orang yang berdakwah di jalan Allah sangat istimewa1 dibanding dengan amal- amal lain karena memang dakwah merupakan amal yang memerlukan ilmu dan amal sekaligus ijtihad dalam menentukan arah dakwah agar tetap berada di atas jalan kebenaran.
Terlebih tantangan dakwah dari masa ke masa semakin akseleratif, baik dari sisi kualitas ataupun kuantitasnya, masih kurang sepadan dengan para da’iyah yang terjun ke medan dakwah dengan segala kapasitas ilmu yang dimilikinya dimana jika saja dihadapkan dengan problematika dakwah maka sikap yang muncul seringkali mengedepankantasahul dantathorruf, kurang mempertimbangkan fiqh wahyi (al-Qur’an dan al-Sunnah) dan atau
fiqh waqi’ (realitas dakwah mad’u)2.
Sikaptasahul dalam dakwah artinya menganggap gampang segala permasalahan dakwah tanpa mengindahkan niali-nilai kemaslahatan sebagai tujuan dari syari’at agama Islam, dilakukan sambil lalu tanpa managemen sama sekali. Sementaratathorruf artinya sikap berlebihan dalam melihat permasalahan dakwah sehingga kemaslahatan syari’atpun menjadi sempit maknanya. Hal ini terjadi karena para da’iyah tidak memahami fiqh wahyi atau fiqh waqi’ dengan baik. Upaya memadukan fiqh wahyidan fiqh waqi’ inilah sebenarnya yang dalam lapangan dakwah disebut fiqh dakwah3 dimana kaidah-kaidahnya dapat ditarik dari ushul fiqh sebagai kaidah yang menjadi rambu-rambu dalam fiqih sebagai amaliah praktis.
Bertolak dari hal inilah, penulis melihat bahwa para da’i perlu untuk mengembangkan kaidah-kaidah fiqh yang menjadi acuan para ahli fiqh (fuqaha) dalam berijtihad dapat diselaraskan dengan lapangan amal dakwah karena keduanya merupakan dua sisi yang ekleptis satu dengan yang lainnya memiliki keterkaitan yang erat.


BAB II
PEMBAHASAN
  1. Pengertian Kaidah Dakwah
Kaidah dakwah terdiri dari dua kata yaituk a ida h danda k wa h. Menurut bahasa kaidah adalah serapan dari bahasa Arab yang artinya “al-asas” (dasar dan asal, baik bersifat materil ataupun immateril)4. Ia adalah ism mufrad (kata benda tunggal) dan bentuk jamaknya adalahqawa’id. Pengertian ini dapat kita lihat dalam firman Allah Swt :
وَإِذْ يَرْفَعُ إِبْرَاهِيمُ الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ وَإِسْمَاعِيلُ رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar- dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa): "Ya Tuhan Kami terimalah daripada Kami (amalan kami), Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui"5.
Sedangkan menurut istilah al-Jurjani menjelaskan bahwa kaidah adalah hukum-hukum umum yang berlaku pada bagian- bagiannya6. Hukum umum tersebut diletakan untuk membatasi hukum-hukum pada bagian-bagian khususnya agar tidak terlepas dan keluar darinya. Batasan ini hampir sama seperti yang disebutkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang mendefinisikan kaidah sebagai rumusan asas yg menjadi hukum atau aturan, patokan dan dalil yg sudah pasti7.
Sementara dakwah, menurut bahasa adalah masdar marroh dari kata da’a yad’u da’watan yang artinya berkutat seputar permohonan, ajakan, seruan serta anjuran terhadap suatu perkara8. Dalam al-Qur’an kata “dakwah” disebutkan untuk ajakan kepada kebaikan (haq) dan keburukan(batil). Dakwah yang digunakan untuk ajakan kepada kebaikan kita dapatkan dalam ayat al-Qur’an yang artinya:
Hanya bagi Allah-lah (hak mengabulkan) doa yang benar. dan berhala-berhala yang mereka sembah selain Allah tidak dapat memperkenankan sesuatupun bagi mereka, melainkan seperti orang yang membukakan kedua telapak tangannya ke dalam air supaya sampai air ke mulutnya, padahal air itu tidak dapat sampai ke mulutnya dan doa (ibadat) orang-orang kafir itu, hanyalah sia-sia belaka”9.
Sedangkan kata dakwah yang digunakan untuk ajakan kepada keburukan adalah :
Yusuf berkata: "Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. dan jika tidak Engkau hindarkan dari padaku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku Termasuk orang-orang yang bodoh10."
Penggunaan kata dakwah dalam dua pengertian ini juga kita dapatkan dalam sabda Rasulullah Saw yang artinya:
Barang siapa menyeru kepada petunjuk (Allah), maka baginya pahala seperti pahala-pahala orang yang mengikutinya, pahala tersebut sedikitpun tidak mengurangi pahala mereka, dan barang siapa menyeru kepada kesesatan maka baginya dosa seperti dosa orang-orang yang mengikutinya, dosanya tersebut sedikitpun tidak mengurangi dosa-dosa mereka “11.
Sedangkan menurut istilah, dakwah adalah upaya seorang da’iyah atau beberapa da’iyah dalam mengajak manusia kepada Islam dengan cara-cara tertentu sehingga mereka mengingkari thagut dan beriman kepada Allah12.
Merujuk kepada dua pengertian di atas, dapat didefinisikan bahwa kaidah dakwah adalah hukum atau aturan yang menjadi pedoman bagi da’i dalam mengajak manusia melakukan kebaikan dan menjauhkan dari keburukan.
B. Urgensi kaidah Dakwah
Karena objek dakwah itu manusia, tentu selaiknya ia dipahami secara utuh dikarenakan dakwah adalah aktifitas mengajak manusia baik umat istijabah (umat seagama) ataupun umat dakwah (umat beda agama)13. Dengan dakwah diharapkan umat istijabah dapat berubah dari kondisi buruk kepada baik atau dari baik kepada yang lebih baik. Sedangkan dakwah kepada umat dakwah diharapkan mereka dapat mengimani Allah Swt dengan sebanar-benar iman dan meninggalkan unsur-unsur syirik yang akan dapat membatalkan keimananannya .
Memahami dakwah dengan utuh ini tidak akan tercapai jika para da’i tidak mengetahui rambu-rambu yang harus dipatuhi selama berlangsungnya aktifitas dakwah tersebut. Dakwah yang dilakukan setiap da’i sejatinya dibatasi dengan kaidah-kaidah agar tercipta keselarasanwasilah (perantara) danghoyah (tujuannya), jangan sampai dakwah yang dilakukan termasuk kategori “al- Ghoyah tubarrir al-Wasilah” sebagai derivasi kaidah ushul fiqh “lil wasa’il hukm al-maqashid”14, yang dalam bahasa dakwah artinya demi tujuan dakwah segala perantara menjadi sah dilakukan meski secara hukum dilarang. Hal ini menuntut upaya penyelarasan antara kaidah-kaidah ushul fiqh dengan lapangan dakwah. Seluruh upaya dakwah harus dikoridori kaidah-kaidah dakwah yang secara substansial dapat ditarik derivasinya dari kaidah-kaidah ushul fiqh sebagai kumpulan kaidah-kaidah umum yang digunakan untuk melakukanistinbath (mengambil kesimpulan) hukum-hukum syari’at dari dalil-dalil al-Qur’an dan al-Sunnah yang terperinci.
Sebagaimana seorang Ulama Fiqih tidak dapat berijtihad dalam beberapa amaliah praktis yang dihadapinya jika ia tidak memiliki kecakapan khusus terkait dengan kaidah-kaidah ushul fiqh, begitupun dengan seorang da’iyah tidak dapat melakukan dakwah dengan baik jika seandainya ia tidak memiliki ilmu tentang kaidah- kaidah dakwah yang dapat menyelamatkan perahu dakwahnya kepada tujuan yang dikehendakinya. Syaikh Jum’ah Amin berkata : “Kita harus mengembangkan kaidah-kaidah ushul fiqh dari lingkup hukum-hukum syari’at yang bersifat amaliah ke lingkup dakwah secara umum, agar setiap da’i mampu membekali diri dengan kaidah-kaidah dan tolok ukur yang menentukan dakwahnya, sehingga tidak menyimpang dari manhaj yang benar”15.
Singkatnya, urgensi kaidah-kaidah dakwah adalah sebagai batasan atau rambu-rambu baku yang dapat menjadi pedoman dakwah bagi setiap da’i agar dakwahnya tetap berada dalam manhaj yang benar tidak “tasahul” dan atau “tathoruf” apalagi masuk pada kategori “dakwah ‘ala bab jahanam” yang disebut dalam hadis Khudzaifah ibn Yaman16 yang terkadang tidak disadari bahwa dakwahnya justru akan merugikan Islam yang berujung pada dakwah yang gagal dan tidak menuai hasil gemilang17.

1 Hadis tersebut adalah “ seseorang diberi hidayah oleh Allah karenanmu (pahalanya) lebih baik dari unta merah (unta terbaik dan termahal)”H.R. Bukhari. Lihat Muhamad Fu’ad Abd Al-Baqy, al-Lu’lu’ Wa al-Marjan, Beirut : Dar el-Fikr, 2001, Juz 1, hlm.757. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa pahalanya adalah lebih baik dari dunia dan seisinya, Lihat dalam ‘Ala al-din Faury, Kanz al-Umal Fi Sunan Al-al-Aqwal wa al-‘Af’al, Mu’asasah al-Risalah: Damascus, 1401/1981,juz 15, hlm. 344


2 Terkait fiqh al-Waqi (fiqih realitas) dapat dibaca dalam Dr.Nashir bin Sulaiman al-Umar dengan judul Fiqh al-Waqi’ ; muqawwimatuh, atsaruh, mashadiruh.


3 Demikian Ust Anis Mata Lc mengemukakan dalam beberapa tausiyahnya


4 Al-Raghib al-Asfahani, al-Mufrodat fi Gharib al-Qur’an, hlm 406 dalam Maktabah Syamilah, versi 3.2


5 Q.S. al-Baqarah : 127. Kata “qawa’id” dalam bentuk jamak juga dapat dilihat dalam
Q.S.al-Nahl : 26


6 Lihat Ali al-Jurjani,“ al -Ta’ ri fat”, Beirut : Dar al-Kitab al-Araby, cet. Ke-1, hlm 171


7 Lihat KAMUS BESAR BAHASA INDONESIA dalam http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php


8 Lihat Muhamad Al-Razi, “Mukhtar al-Shihah”, Maktabah Libnan : Beirut, 1415/1995, hlm.218


9 Q.S.al-Ra’d : 14. Lihat juga firman-Nya dalam Q.S.al-Hajj : 67


10 Q.S. Yusuf : 33. Lihat juga dalam Q.S.al-Baqarah : 221


11 H.R.Muslim dari Abu Hurairah. Lihat dalam al-Nawawi, Riyad al-Shalihin dalam Bab fi al- Dalalah ala khoir wa al-Du’a ila Hudan au al-Dholalah, Cairo : Dar al-Taqwa, 2001


12 Miswan Thahadi, Quantum Dakwah dan Tarbiyah, Jakarta: Al-I’Tishom, 2008, hlm 12.


13 Drs.H. Misbach Malim,Lc.Msc, Shibghah Dakwah, Jakarta: Dewan Dakwah Islamiyah Indoensia,2008, hlm 4


14 Lihat dalam Muhamad al-Jizani, Ma’alim Ushul al-Fiqh ‘Inda Ahl al-Sunnah Wa al- Jama’ah, Madinah:Dar Ibn al-Jauzi, 1427 H, cet.5.hlm.297



15 Muhamad Amin Jum’ah, Al-Dakwah Qawa’id Wa Ushul”, Cairo : Maktabah misriyah, 1997, hlm 18


16 H.R. Bukhari, no. 7084. Lihat dalam Al-Bukhari, Al-Jami’ al-musnad al-Shahih al- mukhtashar Min Umur Rasulillah Wa Ayyamihi (Shahih Bukhari), Dar Thauq an-Najah : Mauqi al-Islam, 1422 H, juz 9 hlm 51.


17 Dalam batasan Islam selama dakwah dilakukan dengan baik dan benar, yakni berpedoman pada wasa’il dan maqashid yang benar, maka meski dakwah kurang