Jumat, 01 April 2011 | By: Ahmad's

DAKWAH KONTEMPORER

Acep Aripudin
(Dosen Fak. Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Gunung Djati)

Islam dalam pandangan Max Muller merupakan salah satu agama misi/dakwah di dunia, di samping Yahudi, Katolik, Kristen, dan Budha. Kesimpulan Muller tersebut tidak bias dibantah, karena memang Islam begitu adanya. Apalagi jika merujuk beberapa ayat Alquran yang mengandung isyarat-isyarat tentang dakwah seperti dalam (QS, 16:125) dan (QS, 41:33), memperkuat bahwa Islam adalah agama dakwah atau agama "misi", yaitu agama yang harus disampaikan kepada manusia.

Persoalannya ialah bagaimana Islam didakwahkan kepada manusia/masyarakat (mad'u) yang multibudaya, beraneka ragam suku, agama, ras, dan profesi. Mengacu pendapat antropolog Koentjaraningrat (1974:9), di Indonesia saja terdapat lebih dari 300-an suku bangsa dan beragam bahasa ibu, sehingga bagi pelaku dakwah (dai) merupakan tantangan cukup serius guna melakukan pendekatan dakwah dengan beragam metode yang lebih kontekstual.

Keanekaragaman masyarakat dalam scope lebih makro juga tidak bisa dikesampingkan pengaruhnya terhadap cara dan topik material dakwah yang harus diperhatikan dai, termasuk dalam perhatian ini ialah isu-isu kontemporer berkaitan dengan dakwah. Misalnya, isu tentang hak asasi manusia (HAM) hubungannya dengan isyarat toleransi poligami dalam Islam.

Poligami dalam Islam ditolelir, meskipun dengan syarat sangat ketat dan bersifat situasional. Ini adalah hak bagi seorang Muslim, namun hak poligami tersebut kurang direspons oleh kaum Muslimat. Bahkan, dalam beberapa kasus dai poligami di Indonesia, setelah dai tersebut poligami reputasinya memudar, jika tidak mau dikatakan ditinggalkan umat. Persoalan dakwah seperti tersebut di atas, belum mencakup persoalan-persoalan pada ranah pendidikan, ketahanan social, dan lingkungan hidup.

Dalam persoalan pendidikan misalnya, lingkungan pendidikan yang bersih, berorientasi keunggulan (excellence) belum mampu dilakukan oleh para dai, aktivis pendidikan pada khususnya. Sekolah-sekolah "Islam" yang dianggap unggul dan memenuhi standar masih bisa dihitung jari. Sekolah Islam masih bersifat labeling dan belum mampu mewujudkan dirinya sesuai pesan moral bahwa Islam itu unggul dan tak ada yang mengungguli (Islam ya'lu wala yu'la alaih). Lebih dari 3000-an perguruan tinggi Islam di Jawa Barat, misalnya, belum menunjukkan indikasi umat Islam maju dan lebih baik peradabannya.

Semangat dakwah melalui pendidikan unggul belum menyentuh realitas kehidupan umat Islam, padahal statistik umat Islam menunjukkan mayoritas. Bahkan, sebagian umat Islam sendiri terkesan "alergi" menyekolahkan anaknya ke sekolah Islam, dengan alasan kurang berkualitas. Menyekolahkan anak saja tidak mau, apalagi peduli membangun pendidikan unggul bagi umat Islam. Ini adalah persoalan dakwah.

Dakwah belum mewujud pada tataran praksis-empiris dalam karya faktual. Para dai belum mampu menjadi lokomotif bagi pembangunan dan pengembangan umat Islam dengan pendekatan dakwah kolektif, yaitu dakwah bi al-hal yang strategis dilakukan pada masa sekarang.

Isu dakwah lainnya ialah kerusakan lingkungan, alam, lautan, maupun lingkungan tempat di mana manusia bermukim. Jarang sekali kita menyaksikan para dai mengusung isu lingkungan hidup sebagai topik dakwah, baik dalam ceramah; lebih-lebih dakwah dengan cara aksi seperti penanaman pohon atau sekadar membuang sampah pada tempatnya. Isu lingkungan hidup seolah hanya komoditas para pakar lingkungan hidup yang bicara dari satu hotel ke hotel lain.

Padahal, isu tersebut dalam Alquran maupun dalam hadis Nabi isyaratnya sangat implisit. Manusia dilarang melakukan kerusakan lingkungan sekecil apa pun. Karena merupakan larangan, maka pelakunya harus dihukum berat. Pelanggaran terhadap kerusakan lingkungan hidup sebanding dengan umat yang melakukan pembunuhan. Bahkan, jika kita melihat akibat buruk dari kerusakan lingkungan, seperti penggundulan hutan akibat penebangan liar, harus dibalas dengan kerugian materi dan bahkan korban jiwa. Keadaan demikian merupakan fitah al-qubra (fitnah besar) pada zaman sekarang yang harus diperhatikan umat Islam, para dai pada khususnya.

Tugas berat para dai lainnya ialah isu melemahnya karakter generasi muda. Arus materialisme, yaitu mengukur sesuatu kebenaran dengan materi seolah tak disadari telah masuk pada jiwa generasi muda. Karakter masyarakat yang berakar pada tradisi lokal, seperti ketahanan, kesabaran, dan hidup berorientasi pada nilai, sudah diganti dengan pola hidup serbainstan, materialistis, dan hedonistis. Tema dakwah mestinya berorientasi pada upaya memberi alternatif dan solutif bagaimana menyadarkan umat bahwa ketahanan berkarakter sangat penting. Kuatnya karakter masyarakat menghasilkan generasi tangguh dalam menghadapi tantangan hidup.


Rekonseptualisasi
Praktik dakwah yang selama ini dilakukan stagnan dan hanya berkutat pada dakwah bi al-lisan (dakwah ucapan). Oleh karena itu, para dai perlu melakukan "rekonseptualisasi" dakwah. Dakwah tidak harus dipahami "proses penyampaian Islam (ayat quraniah) secara lisan kepada manusia", lebih-lebih mengajak umat non-Muslim masuk Islam ("Islamisasi"). Sudah mesti disosialisasikan bahwa dakwah ialah "pengembangan sikap dan tindakan nyata bagi kesejahteraan umat" yang berakar pada tradisi unggul Islam dan peradaban manusia. Tabligh dan atau ceramah hanya bagian kecil cara dakwah yang efektivitasnya cukup terbatas. Sebaliknya, dakwah dengan metode pendekatan kolektif atau dakwah bi al-hal seperti lewat pendidikan dan penguatan karakter umat begitu dibutuhkan dan sangat futuristik.

Tugas tersebut tak hanya dibebankan kepada Lembaga Studi Dakwah, seperti universitas atau organisasi sosial keagamaan, namun lebih penting juga ialah kesadaran seluruh elemen umat Islam bagi perbaikan akhlak manusia. Kenapa dakwah bi al-hal ini begitu strategis, selain hanya bisa dilakukan secara kolektif dan keikutsertaan seluruh komponen umat, juga segala wujud hasilnya dapat dipelihara umat, sehingga menjadi tanggung jawab bersama.

Rekonseptualisasi pemahaman dakwah dari "ucapan" ke "tindakan" membutuhkan fundamen pikiran kuat dan sosialisasi berkesinambungan. Dalam praktiknya, mengacu pendapat edukator Prof Ahmad Tafsir, tahapan-tahapan berikut mesti dilakukan; Pertama, keteladanan para dai. Konsep uswatun hasanah tak cukup diungkapkan melalui lisan, namun harus diungkapkan pula lewat tindakan. Kedua, pembiasaan dalam melakukan amal baik.

Ketiga, jika perlu melakukan tindakan hukuman. Memberi sanksi kepada siapa saja yang melakukan pelanggaran. Memberi sanksi tak mesti diasosiasikan dan diserahkan kepada pihak berwajib seperti polisi. Sanksi sosial dan moral yang dilakukan masyarakat, bahkan lebih efektif dalam konteks kultural masyarakat kita. Oleh karenanya, sanksi sosial yang dilakukan masyarakat sangat paralel dengan keharusan melakukan penguatan karakter masyarakat yang berakar pada nilai-nilai tradisi agama maupun tradisi lokal masyarakat.

Jumat, 22 Oktober 2010 pukul 13:47:00
Sumber : Republika Online

0 komentar:

Posting Komentar