Sungguh teramat sulit kejujuran ditemukan di tengah arus jaman yang penuh hiruk-pikuk cinta dunia. Cinta dunia atau hubb al-dunyā adalah pangkal kerakusan dan kehancuran. Cinta dunia menutup ruang suci dan spiritual di hati yang menuntun pada kejujuran. Jika ruang hati terkubur oleh cinta dunia, maka terkubur pula untuk mencintai yang lain, yakni: menicintai akhirat.
Menicinta akhirat adalah pangkal akhlak, pangkal kejujuran, pangkal kesederhanaan, dan pangkal kebaikan. Pendeknya pangkal taqwa. Taqwa adalah simbol penjagaan diri untuk tidak terperosok pada hal-hal yang menyimpang dan bertahan dalam kelurusan. Taqwa adalah derajat tertinggi seorang manusia di sisi Allah. Ini masuk akal karena dengan taqwa yang benar dan sejati, seorang anak manusia merasa terawasi oleh-Nya dan terus-menerus dalam ihsān (perbuatan baik). Ini berarti taqwa akan terus membentengi manusia untuk mencintai kejujuran dan membenci kebohongan dengan seluruh implikasi negatifnya.
Mencintai akhirat bukan berarti mengabaikan dunia. Dunia sangat perlu untuk menopang hidup layak dan mulia. Dunia bukan untuk dituhankan dan dipuja. Pemujaan kepada dunia akan menghilangkan spirit hidup bersahaja dan penuh kejujuran. Sebaliknya, pemujaan kepada dunia akan mendorong permainan kotor, kerakusan, persaingan tidak fair, dan ekses-ekses negatif lainnya. Itulah sebabnya, pemujaan kepada dunia sering menjadi penyebab kehancuran dan menjauhkan manusia kepada rasa hormat pada nilai-nilai yang lebih tinggi.
Secara historis, hancurnya peradaban di masa lalu disebabkan karena hilang nya akhlak dan kejujuran para pemimpinnya serta pengikutnya yang dalam konsep al-Qur’an disebut ingkar (lihat QS, 10:23 dan 29: 65). Keingkaran mereka kepada Tuhan dan hukum-hukum yang ditetapkan oleh-Nya diabaikan sehingga peradaban mereka tak dapat bertahan baik oleh bencana yang ditimpakan oleh Allah swt maupun karena perbuatan mereka (lihat pula QS al-Rum: 41). Bahkan Nabi Muhammad saw pernah menyatakan yang artinya, “Sebuah bangsa akan hancur jika akhlak bangsa itu telah rusak”. Socrates 800 tahun sebelumnya (sebelum Rasulullah) juga pernah mengatakan bahwa jika suatu bangsa telah memusuhi hukum, maka bangsa itu akan hancur. Pernyataan tersebut telah terbukti dalam kehancuran-kehancuran peradaban manusia.
Karena itu, kita harus selalu bercermin dalam kaca benggala sejarah. Kita tak boleh mengulangi kesalahan yang sama yang pernah dibuat manusia sebelumnya. Kita, sebaliknya, harus jujur pada dirinya sendiri. Manusia yang tercipta secara fitrah memiliki potensi untuk terus mencintai kejujuran dan mengimani Allah. Manusia-manusia semacam ini akan menyelamatkan masyarakat bangsa dari kematian massal secara konyol. Tetapi sayangnya, mengapa sejarah kehancuran itu sulit menjadi pelajaran bagi manusia modern, termasuk bangsa kita yang terus dirundung bencana dan pertikaian para pemimpin?
Menicinta akhirat adalah pangkal akhlak, pangkal kejujuran, pangkal kesederhanaan, dan pangkal kebaikan. Pendeknya pangkal taqwa. Taqwa adalah simbol penjagaan diri untuk tidak terperosok pada hal-hal yang menyimpang dan bertahan dalam kelurusan. Taqwa adalah derajat tertinggi seorang manusia di sisi Allah. Ini masuk akal karena dengan taqwa yang benar dan sejati, seorang anak manusia merasa terawasi oleh-Nya dan terus-menerus dalam ihsān (perbuatan baik). Ini berarti taqwa akan terus membentengi manusia untuk mencintai kejujuran dan membenci kebohongan dengan seluruh implikasi negatifnya.
Mencintai akhirat bukan berarti mengabaikan dunia. Dunia sangat perlu untuk menopang hidup layak dan mulia. Dunia bukan untuk dituhankan dan dipuja. Pemujaan kepada dunia akan menghilangkan spirit hidup bersahaja dan penuh kejujuran. Sebaliknya, pemujaan kepada dunia akan mendorong permainan kotor, kerakusan, persaingan tidak fair, dan ekses-ekses negatif lainnya. Itulah sebabnya, pemujaan kepada dunia sering menjadi penyebab kehancuran dan menjauhkan manusia kepada rasa hormat pada nilai-nilai yang lebih tinggi.
Secara historis, hancurnya peradaban di masa lalu disebabkan karena hilang nya akhlak dan kejujuran para pemimpinnya serta pengikutnya yang dalam konsep al-Qur’an disebut ingkar (lihat QS, 10:23 dan 29: 65). Keingkaran mereka kepada Tuhan dan hukum-hukum yang ditetapkan oleh-Nya diabaikan sehingga peradaban mereka tak dapat bertahan baik oleh bencana yang ditimpakan oleh Allah swt maupun karena perbuatan mereka (lihat pula QS al-Rum: 41). Bahkan Nabi Muhammad saw pernah menyatakan yang artinya, “Sebuah bangsa akan hancur jika akhlak bangsa itu telah rusak”. Socrates 800 tahun sebelumnya (sebelum Rasulullah) juga pernah mengatakan bahwa jika suatu bangsa telah memusuhi hukum, maka bangsa itu akan hancur. Pernyataan tersebut telah terbukti dalam kehancuran-kehancuran peradaban manusia.
Karena itu, kita harus selalu bercermin dalam kaca benggala sejarah. Kita tak boleh mengulangi kesalahan yang sama yang pernah dibuat manusia sebelumnya. Kita, sebaliknya, harus jujur pada dirinya sendiri. Manusia yang tercipta secara fitrah memiliki potensi untuk terus mencintai kejujuran dan mengimani Allah. Manusia-manusia semacam ini akan menyelamatkan masyarakat bangsa dari kematian massal secara konyol. Tetapi sayangnya, mengapa sejarah kehancuran itu sulit menjadi pelajaran bagi manusia modern, termasuk bangsa kita yang terus dirundung bencana dan pertikaian para pemimpin?
(www.alwasit.com)
0 komentar:
Posting Komentar